Posted in Article, Education, Everything, Indonesia, My Writing, Story, Teaching

Langkah Pelita Kecil

LANGKAH PELITA KECIL
Oleh Harti Mawarni Putri


Tag: Pelita Kecil Bangsa, Cita-cita, Guru, Indonesia Maju, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pendidikan Bahasa Inggris, Pengalaman, Praktikum Mengajar, Unggul dan Islami

# # #

Satu kata yang masih tersimpan dalam benak saya dulu, ketika saya masih belajar dan bermain di Sekolah Dasar, adalah tentang cita-cita. Sangat lugunya kami, mengenal dan mulai melukis apa itu cita-cita dalam angan-angan yang akan selalu kami bawa nantinya. Dan kata guru saya, seorang hebat yang selalu ada di depan, tengah, dan belakang kami, “Langkah pelita kecil sepertimu masih membara, dan jauh di sana. Kau tak perlu berlari untuk meraih cita-cita yang jauh itu, cukup belajarlah, berteman dan kenali dunia luar yang liar.” Saya masih mengingatnya, sampai detik ini, di mana saya masih berlari.

# # #

Pelita kecil bangsa, seperti itulah saya sebut mereka. Langkah-langkah mereka mengibas angin, senyum mereka merekah menyambut mentari ceria di ufuk timur, nyanyian kemesraan alam mereka tabur bersama semangat memperjuangkan masa depan. Masih ada beberapa kebiasaan khas mereka yang saya temui seperti ketika saya di masa itu, yakni bermain. Tak perlu gadget untuk bisa bahagia mengisi waktu kosong—memang dulu kami belum mengenal gadget seperti sekarang, cukup permainan tradisional yang mengenalkan kami pada kebersamaan. Indah, sangat indah masa itu. Mereka selalu mengingatkan pada masa kecil saya, seperti mereka.

Pelita-pelita kecil bangsa dari MIM Jogonalan (Sekolah ajar praktikum II Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UMY) saya temui pertama kali pada minggu ketiga bulan Januari 2014. Sekolah ini sangat mengesankan bagi kami, khususnya para praktikan yang bergabung dalam kelompok D1. Bagaimana tidak, mereka—para guru dan karyawan—menyambut hangat kami dengan sangat ramah seperti kebanyakan orang Yogyakarta.

Namanya Bapak Isnaini, kepala sekolah MIM Jogonalan, beliau mengenalkan sekolah yang dibina bersama para guru. Tanpa ragu beliau mengatakan, “Sekolah kami ya seperti ini.” Yang membuat saya kagum adalah para pendiri sekolah ini yang bertekad untuk mencerdaskan anak-anak di daerah sekitarnya, di mana hanya ada sekolah dasar negeri namun berlandaskan agama non-muslim. Bahkan tak jarang, katanya, banyak juga yang sekolah di sana, karena belum ada sekolah Islam didirikan. Maka dari itu, sang pendiri membangun sekolah ini, walaupun belum banyak masyarakat yang percaya untuk menitipkan anaknya di sekolah ini. Beliau menambahkan, saat itu kebanyakan orang tua kalangan menengah ke bawah yang menitipkan putra-putrinya. Namun, niat baik seorang hamba, Allah pasti memberi yang terbaik pula. Pasti ada jalan setelah usaha.

Guru pembimbing kami namanya Miss Laily Yusro. Beliau ini ketika pertama kali bertemu pada pelatihan (coaching) pertama, mengatakan bahwa anak-anak didiknya terbatas pengetahuannya, bahkan ada yang dipindahkan di sana karena tidak naik kelas pada sekolah sebelumnya, alias (maaf) seperti pelarian. Namun, para guru di sana bersemangat dengan menggunakan berbagai macam cara untuk membawa mereka ke tujuan yang diharapkan oleh sang pendidik bangsa. Ya, memang bukankah beginilah tugas para guru? Entah siapapun muridnya, bagaimanapun keadaan mereka, apapun perbuatannya yang ke-anak-an ini, tetaplah seorang guru tugasnya adalah mendidik dan mengajar sekreatif mungkin. Dan, inilah tantangan saya dan teman-teman saya. Kami harus mampu berpikir kritis terhadap sekitar kita, benar-benar realita sesungguhnya, terlepas dari teori. Kami siap!

Pembimbingan yang diberikan oleh Miss Laily serta dosen pembimbing, Mr. Puthut Ardianto, telah kami lewati. Kini saatnya diterjunkan untuk memetik sebuah pelajaran dan pengalaman. Bagi saya, praktikum ini adalah kesempatan emas yang diberikan pihak prodi. Di mana di tempat lain belum pernah dilakukan model seperti ini. Saya memang antusias, karena saya menyukai dunia ini, belajar-mengajar. Namun, sebagian dari teman saya tidak memiliki passion dalam bidang ini. Mungkin awalnya mereka akan bosan, tapi saya yakin setelah proses itu ada, di situlah lahir kesan yang membekas. Lihatlah canda dan tawa anak-anak itu. Nantinya mereka akan dewasa, pengganti kita-kita ini. Penerus bangsa. Saya tidak ingin generasi selanjutnya payah di mata dunia. Maka mulia lah tugas kita untuk mencerdaskan tunas-tunas bangsa mulai dari sekolah dasar ini, walaupun bidang kita tidak mencakup semua mata pelajaran. Kita ikut andil dalam perubahan, kawan!

Kelompok saya terdiri dari empat orang. Dua orang laki-laki (Dendy dan Anang) dan dua orang perempuan (Wulinda dan saya). Kami dipilih untuk mengajar kelas tiga bidang studi bahasa Inggris. Walaupun disuguhkan dengan kondisi kelas yang menurut saya hampir sama dengan sekolah saya jaman dulu, tetapi semangat anak-anak selalu datang menyelimuti ruang kelas. Awalnya, mereka sangat antusias. Senyum, salam dan sapa mereka berikan tatkala kami datang. Sungguh manis.

Hari berikutnya masih sama, sampai hari ketiga. Setelahnya, apalah daya begitulah anak-anak. Kalau tidak senang bermain, bukan anak-anak. Ramai di kelas, ulah trouble maker, bukan jadi persoalan, karena kami akan berusaha untuk mengatasinya bersama-sama. Hal yang paling membuat saya takut adalah, apabila pengajaran saya tidak mampu mereka resap. Membuat mereka bosan dan tidak antusias.

Selama mengajar, kendala itu pasti ada. Seperti yang tadi saya katakan. Mood saya terkadang dipermainkan saat di dalam kelas. Tetapi, mengeluh dan menuruti ego hanyalah akan mematahkan tujuan ini. Saya harus selalu haus untuk belajar bersama anak-anak ini. Maka tidak hanya mengajar, bermain itu perlu. Hanya perlu dikemas untuk edukasi. Dan ya, ini berhasil. Mereka sangat antusias, hingga senyum mereka lah kebahagiaan kami saat itu.

“Oh ya dear anak-anak, hari ini terakhir Miss ngajar loh. Besok sudah digantikan yang lain.”

Lucu sekali ekspresi mereka. Ada yang senang ada yang tidak suka. Namanya manusia, pasti ada yang menyukai dan tidak. Tetapi bagi saya, mereka senang dengan saya atau tidak, tekad saya untuk selalu dekat dengan mereka terus ada. Alhamdulillah, tidak sulit merealisasikannya. Mereka cepat sekali akrab dengan kami. Syukurlah….

Saya yakin mereka adalah anak-anak yang pintar. Hanya saja mereka butuh motivasi, agar mereka selalu giat belajar. Susah sekali kami menuntun mereka, agak kesulitan. Selalu ada ‘tetapi’. Apapun yang telah kami lakukan, telah dilakukan dengan sebaik mungkin.

“Miss kasih tahu dear anak-anak, besok hari sabtu terakhir mengajar. Kami tidak mengajar lagi.”

Sorak bahagia mereka teriakkan. Saya tidak heran dengan sikap mereka kala itu, karena di hari-hari terakhir terjadi banyak permasalahan dengan mereka. Yakni aksi bandel salah satu anak. Mereka, terutama anak laki-laki, ketahuan melakukan pelanggaran. Tidak apa-apa, walaupun saya sangat ingin sekali memberikan kesan terakhir yang baik. Saling berterimakasih. Saya berterimakasih kepada mereka yang telah memberi pengalaman berharga ini. Tetap akan mengesankan bagi saya.

Karena di kelas lain, seperti kelas 5, mereka yang akan ditinggalkan seolah tak ingin berlalu begitu saja. Anak-anak yang dibilang lebih dewasa daripada kelas 3, memberikan kesan yang mengharukan untuk teman-teman saya yang mengajar di kelas tersebut. Teman saya menuturkan bahwa anak-anak didik mereka menulis surat perpisahan dan prakarya berupa gambar untuk mereka. Sangat mengharukan dan mengesankan. Erat sekali hubungan mereka itu.

Saya mendengarnya sangat iri. Masih ada murid saya yang belum bisa berhitung dalam bahasa Inggris, masih banyak murid yang belum berani mengangkat tangan untuk berbagi materi yang telah mereka dapatkan, masih ada dari mereka yang berbuat usil, ramai, dan saling mengejek bahkan berkelahi dengan temannya. Masih ada murid saya yang membuang sampah sembarangan, masih ada banyak yang belum tersampaikan. Saya belum melakukan apa-apa untuk mereka supaya terus memperjuangkan cita-citanya. Saya belum melakukan hal supaya mereka mau bermimpi dengan yakin akan tercapai. Saya merasa perlu belajar lebih giat lagi untuk memahami cara untuk bergabung dalam dunianya yang khas anak-anak, bersama hal-hal yang tak terduga.

Hari terakhir mengajar, kali ini giliran teman saya, Dendy. Kami memfokuskan untuk melakukan evaluasi terakhir seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya kepada mereka. Dan lagi, seperti saya katakan sebelumnya, hari terakhir ini mereka bermasalah. Alhasil, kami hanya mengevaluasi anak-anak yang mau mengikutinya saja, dan anak perempuan yang sangat antusias. Yang lainnya, karena mereka terbentur mood yang buruk dan membuat kekacauan, kami mengabaikan mereka. Namun, kami tetap mengajaknya berkomunikasi dengan baik. Hanya saja, mereka lebih acuh.

Di sini, saya merasa gagal. Gagal untuk berteman baik dengan mereka. Kalau saja ada orang yang merasakan hal yang sama dengan saya, saya ingin mengajaknya menangis bersama. Entah, rasanya agak mengecewakan di hari terakhir mengajar.

Selalu ada ‘tetapi’. Senyum bahagia mereka ketika kami membagikan snack dan buku tulis yang telah kami beri nama di bagian sampulnya, membuat saya melupakan kekecewaan. Apalagi setelah mengumumkan siapa sang juaranya di kelas. Kami menghargai mereka yang telah semangat belajar bahasa Inggris.

Sesi foto-foto pun kami lakukan bersama. Jiwa narsis muda kami hidup. Saya tak ketinggalan, meminta berfoto dengan murid yang rajin. Kenapa rajin? Karena saya suka menghargai orang yang rajin. Kalau rajin, nantinya akan pintar. Begitulah menurut saya.

IMG-20140507-WA0001
Bersama Pelita Kecil Bangsa, Candra Dwi Wijaya.

Kegembiraan kami sejatinya bukanlah persoalan kami mendapat penghargaan atau minta dikenang, bukan hadiah yang kami beri, bukan rapor yang kami berikan penilaian. Tetaplah senyum, salam, dan sapa. Itu saja. Mereka sopan dan santun, menghargai kami saja sudah cukup. Tentunya yang paling membuat kami bangga adalah ilmunya. Semoga nanti ilmunya bermanfaat, dan tetap semangat belajar bahasa Inggris meskipun kurikulum sekarang tidak mewajibkan ada bahasa Inggris di sekolah dasar. Tidak apa-apa. Setidaknya kami sudah membekali mereka pengetahuan bahwa bahasa Inggris itu penting dan perlu untuk kita pelajari dan kuasai tanpa melupakan bahasa Indonesia. Ini hanyalah sebuah kelebihan yang nantinya pasti akan berguna di masa depan yang semakin maju dan moderen. Tugas kami adalah membekali. Belajar dan berjuang bersama untuk masa depan pelita-pelita kecil bangsa, yang akan menjadi besar dan memimpin Indonesia lebih maju. Tetap yakin akan lebih baik.

# # #

IMG-20140507-WA0015
Murid laki-laki kelas tiga MIM Jogonalan. Senyum sang pelita-pelita kecil bangsa, kebanggaan Indonesia. (Kiri ke kanan: Wulinda, Dendy, Anang, Harti)
IMG-20140507-WA0028
Murid perempuan kelas tiga MIM Jogonalan. Senyum sang pelita-pelita kecil bangsa, kebanggaan Indonesia. (Kiri ke kanan: Dendy, Wulinda, Harti, Anang)
IMG-20140507-WA0009
Bersama Miss Laily Yusro beserta pelita-pelita kecil bangsa kelas tiga MIM Jogonalan.

# # #

Saatnya penarikan kelompok D1 di MI Muhammadiyah Jogonalan. Tetap sama, sambutan hangat yang membuat kami selalu betah mengajar di sini. Kata-kata perpisahan dan terimakasih kami telah disampaikan oleh dosen pembimbing kami, Mr. Puthut, setelah dipersilahkan oleh pembawa acara yang tak lain adalah dua murid kelas dua. Sungguh, mengesankan dan membanggakan di mana mereka memiliki keberanian yang patut dihargai walaupun sedikit malu-malu. Tak lupa sambutan dari kepala sekolah, dan tentu saja dari guru pembimbing kami, Miss Laily, yang telah memberi kami pelajaran dan pengalaman secara langsung maupun tidak langsung. Pasti akan kami kenang semua ini.

Tidak cukup itu saja yang membuat kami berdecak kagum dan bangga. Kami disuguhi oleh lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari kelompok hafidz Qur’an mulai dari kelas satu yang tepilih. Subhanallah! Hal ini menandakan perjuangan sekolah ini yang tidak hanya kemampuan akademis saja yang harus unggul, tetapi sisi Islami mereka juga harus dimiliki sebagai anak Islam. Seperti tagline Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Unggul dan Islami, begitulah harapan dan cita-cita kampus tercinta.

10300101_724245544299349_7011108099597162199_n
Hafidz Al-Qur’an, sebagai upaya sekolah untuk mencerdaskan anak dengan cara Islami.

Penarikan diakhiri dengan ucapan terimakasih kami kepada semua pihak sekolah dan murid-murid kami yang telah memberi pengalaman berharga sebagai calon pendidik bangsa, yang diwakili oleh teman-teman saya; Ahmad Ghulam, Irvan Maulana, dan termasuk saya. Beribu ucapan terimakasih kiranya belum cukup dibandingkan dengan pengalaman luar biasa ini. Terus semangat menggapai cita-cita! Jadilah pelita-pelita kecil yang sukses! Ucapan sayang dan cinta kami sampaikan kepada murid-murid kami yang membanggakan.

# # #

10353194_724244814299422_5991946522381591259_n10414623_724245470966023_4700085388564308027_n10250300_724244200966150_6433636402903129625_n10361565_724244420966128_3791435891688054302_n

10402014_724244544299449_9076648906684766850_n

10421508_724245677632669_470845911851802176_n

# # #

Dari saya adalah sesungguhnya kita bisa belajar di mana saja dan dari mana saja. Sebuah kekurangan dan keterbatasan seseorang ataupun sesuatu tidak pantas menjadi sebuah halangan untuk menggapai cita-cita. Selagi ada niat, usaha, rasa semangat tinggi, tekad, dan do’a. Tidak ada yang tidak mungkin. Termasuk saya. Menjadi seorang guru itu tidaklah mudah, di mana keluarga saya tidak memiliki latar belakang pendidikan. Namun, percayalah bahwa Allah selalu memberi jalan.

Mungkin saya masih berdiam di sini, belum sepenuhnya mengenal dunia luar yang liar seperti apa yang dikatakan guru saya, tetapi saya akan meneruskan jalan ini. Jalan yang untuk menuju ke sana tak perlu berlari, cukup belajar dan berteman dengan kehidupan. Lihatlah, saya tak sendirian, karena banyak orang—yang mencintai saya—menginginkan saya sukses. Tetap semangat, kawan!

All Praktikan, DPA, MIM
Penarikan Mahasiswa Praktikum Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 24 Juni 2014.

Ayo melangkah bersama untuk Indonesia Maju! :”)

(31 Agustus 2014, 17:15 WIB)

Author:

I love writing so much!

2 thoughts on “Langkah Pelita Kecil

  1. I am Andreas. One of Student at English Education Department of UMY batch 2011. I like your story. Actually, we have a similar experience (teaching practice), keep on spirit.

    Like

I wonder if you could comment on this post :)